Mengenal Budaya Bali di “Museum Bali”

Artikel ini dikutip dari Majalah Adiluhung Edisi 02

Oleh : Lucia Indarwati

Museum kadang terkesan hanya jadi tempat untuk menyimpan benda-benda kuno bersejarah.

Karena itu jarang dilirik orang. Apalagi jika dikelola secara asal-asalan, maka museum terkesan jadi tempat yang ‘angker’. Bagaimana dengan museum Bali?

Museum yang dibangun pada 1910 itu merupakan museum tertua di Bali. Terletak di pusat kota Denpasar, di sebelah timur lapangan Puputan Badung dan di sebelah selatan Pura Jagatnatha, di Jalan Mayor Wisnu, Denpasar.

Merupakan museum etnografi yang mencerminkan semua unsur kebudayaan Bali, mulai dari koleksi arkeologi, koleksi historika, koleksi seni rupa dan koleksi etnografi.

Bangunan museum bergaya arsitektur tradisional Bali de­ngan ornamen yang sangat khas. Struktur fisiknya menggunakan konsep trimanandala yaitu nista mandala/jabasisi atau bagian luar, madya mandala/jaba tengah atau bagian luar sebelum memasuki bagian inti, dan utama mandala/jeroan atau bagian inti.

Tepat di pintu masuk utama, pengunjung akan langsung melihat kulkul (peralatan tradisional yang digunakan untuk mengumpulkan penduduk) atau semacam kentongan yang terbuat dari bambu atau kayu, yang tinggi menjulang. Di dalam bangunan utama ini dapat dilihat berbagai koleksi prasejarah yang lain, seperti per­alatan yang digunakan oleh manusia selama masa berburu dan bercocok tanam, periode budi daya, dan periode metalik. Lantai atas bangunan ini menampilkan koleksi seni rupa Bali.

Di samping ba­ngun­an utama, terdapat tiga bangun­an besar untuk me­­­ma­­merkan ko­leksi museum, meliputi Gedung Buleleng, Gedung Karangasem, dan Gedung Tabanan. Ba­ngunan pertama disebut Gedung Buleleng, karena bangunan ini sumbang­an kabupa­ten Buleleng. Bangun­an dengan arsitektur khas Bali Utara atau Kerajaan Buleleng ini memamerkan koleksi kain-kain tradisional Bali, seperti kain poleng, kain endek, kain cepuk, kain geringsing, kain songket, dan kain perada.

Kain Poleng, pada mulanya hanya terdiri dari dua warna putih dan hitam atau putih dan merah, masing-masing warna berbentuk segi empat. Warna yang dianggap memiliki makna religius adalah hitam dan putih yang merupakan simbol rwabhineda dari kebaik­an dan keburukan, tinggi dan rendah, atau melambangkan sifat. Kain poleng hitam dan putih pada umumnya dipergunakan sebagai sabuk pada tugu, patung, penjaga, atau tokoh-tokoh pewayangan seperti Hanoman dan Bima, bahkan juga dipasang pada perabot rumah tangga dan sarana transportasi. Bentuk kain poleng beraneka ragam, baik dari sisi warna, ukuran, hiasan kain, ukuran kotak, maupun ba-hannya. Dari sisi ukuran ada yang 1×1 cm, 3×3 cm, dan 5×5 cm. Dari sisi warna dalam perkembangannya ada kain poleng rwabhineda (hitam dan putih), sudhamala (putih, abu-abu, hitam), dan tridatu (putih, hitam, merah).

Kain endek adalah kain tenun yang dipakai oleh masyarakat dari kalangan biasa pada saat Upacara Manusa Yadnya (upacara potong gigi, upacara perkawinan) dan Upacaya Dewa Yadnya (upacara odalan, upacara galungan). Kain endek dibuat dengan teknik ikat tunggal dengan hiasan motif flora, fauna, dengan campuran pada benang pakannya. (benang pakan = benang yang melintang).

Kain Cepuk adalah kain yang dipakai pada waktu upacara Manusa Yadnya dan upacara Dewa Yadnya, khususnya oleh masyarakat Nusa Penida dan Desa Tenganan. Kain tersebut dibuat dengan benang Bali dengan warna-warna alam. Dibuat dengan teknik ikat tunggal dan hiasan geometris.

Kain Geringsing berfungsi sebagai penolak bala dan dikenakan pada upacara keagamaan. Kain yang dibuat dengan teknik ikat ganda dan diberi hiasan motif flora, fauna, dan wayang ini berasal dari desa Tenganan Pegerinsingan kabupaten Karang­asem. Motif kain geringsing ada bermacam-macam, di antaranya motif buah pepare, motif bunga cemplong, motif wayang putri, dan motif kalajengking. Teknik ikat ganda adalah kedua kelompok benang (pakan dan lungsi) diikat untuk membentuk desain motif, kemudian dicelup dengan bahan warna-warna alam.

Kain Songket yang biasa dikenakan oleh keluarga raja pada saat upacara agama (manusa yadnya dan dewa yadnya) adalah kain yang dibuat dengan teknik menyu­supkan/mengaitkan/menyungkitkan benang berwarna untuk dijadikan motif tertentu. Motif yang biasa digunakan untuk kain songket adalah motif flora.

Kain Perada adalah kain polos yang diberi hiasan motif flora dan fauna dilukis dengan cat pe­rada warna emas. Kain ini biasa­nya digunakan untuk hiasan pada bangunan suci pada waktu upacara agama dalam bentuk ider-ider, pedupa, dan sebagai pakaian adat pengantin.

Bangunan kedua disebut Gedung Karangasem, dengan arsitektur khas Bali Timur atau Kerajaan Karangasem, yang memamerkan koleksi Panca Yadnya. Panca berarti lima dan …


Baca Artikel Lengkapnya di Majalah Adiluhung Edisi 02

1 Comment

Leave a comment