Artikel Ini Dikutip Dari Majalah Adiluhung Edisi 01
Oleh : Ki Juru Bangunjiwa
Tombak Cakranegara merupakan tonggak pemulihan kedaulatan negara. Perpaduan dari tradisi lama dan modernisasi yang terkombinasi secara serasi.
Jalan menuju tampuk kepemimpinan dalam tradisi Jawa diramalkan dan dinujumkan dengan berbagai cara. Salah satu wahana yang diciptakan adalah dengan senjata, baik itu keris atau pun tombak. Hal ini dilakukan oleh mereka yang yakin akan restu alam raya dan semesta sebagai upaya mendukung keinginan manusia untuk menjadi pemimpin. Diakui atau tidak bahwa para pemburu jabatan umumnya juga berburu restu alam, entah itu lewat koleksi berbagai benda pusaka leluhur.
Mohon restu dari para leluhur pun dilaksanakan. Beberapa calon pemimpin pun berziarah kubur ke makam pendahulunya. Kepada orangtua yang masih hidup dimintai restu. Secara rahasia beberapa bakal calon pemimpin juga memohon restu ‘Penguasa Alam Raya’ lewat berbagai cara alamiah selaras dengan tradisi budaya yang masih lestari.
Seorang empu di Gathak, Moyudan Sleman, namanya Djeno Harumbraja, pernah diminta untuk membuat sebuah pusaka tombak. Empu Djeno diberi patokan bahwa pusaka itu berwujud cakra, pusakanya Wisnu, tetapi mempunyai ujung tombak tiga, yang menyerupai tombak Kangjeng Kiai Ageng Pleret, dan Kiai Baru. Ketika itu belum terbersit bentuk tombaknya. Namun dalam perjalanan waktu Sang Empu menemukan model tombak itu.
Pusaka itu bila sudah jadi dikemudian hari, bakal diberi nama Cakranegara. Bisa jadi ini juga lambang bagi negara ini. Cakranegara mempunyai multitafsir. Cakra merupakan pusaka Prabu Kresna, atau Wisnu pemelihara jagat raya. Negara bisa berarti dua, negara Ngayogyakarta Hadiningrat dan Indonesia. Akankah ini merupakan sebuah ramalan akan perubahan nasib republik ini? Artinya tujuan membangun negara ini harus didasarkan atas azas kesepakatan bersama yang telah ditorehkan dengan penuh pertimbangan oleh para pendahulu negeri ini? Oleh karena itulah Empu Djeno di masa tuanya sudah siap untuk membuat pusaka ini sebagai karya masterpiece-nya.
Pitutur Luhur
Ketika Mataram paska pemerintahan Panembahan Senapati terjadi huru hara, Pusaka yang dikedepankan untuk membangun negeri yang porak poranda akibat pertikaian di dalam wangsa sendiri adalah Mangkurat Mangkunegara. Lalu artinya apa?
Tampaknya hal ini perlu diaktualisasikan kini. Artinya bahwa keris Mangkurat Mangkunegara itu adalah keris berlekuk lima. Luk artinya kearifan-kebijaksanaan, harus kembali menjadi pegangan bangsa Indonesia, kalau mau negeri ini aman dan damai. Keris berluk lima dengan pudak sategal dan sogokan sampai tengah merupakan wujud pitutur luhur – nasehat bagi bangsa Indonesia. Tanpa ini bangsa Indonesia bakal terus carut marut tak karuan.
Secara positip luk lima bisa diterjemahkan dengan kembali meneguhkan keyakinan manusia Indonesia terhadap Pancasila. Kemudian dikristalisasi menjadi satu nafas gotong royong, bahu-membahu, tolong menolong. Kehidupan multietnik, multi ras, dan agama membutuhkan suatu ketahanan jiwa yang besar. Sebagaimana diluncurkannya keris berlekuk (luk) adalah untuk mencetuskan kebijaksanaan, maka luk lima pantas menjadi pegangan hidup dan pantas dipunyai oleh masyarakat Indonesia dengan strata yang berbeda.
Di samping menunjuk Pancasila, luk lima memberikan petunjuk bahwa menjadi orang itu perlu jangkep -utuh. Utuh lahir batin, jiwa raga.
Keutuhan seorang manusia Jawa dimanifestasikan dalam sepak terjangnya yang ‘Jangkep’. Manusia Jawa dikatakan jangkep , kalau sudah mempunyai watak Wisma, Turangga, Wanita, Kukila, dan Curiga .
Watak Wisma atau rumah bersifat mengayomi, meneduhkan dan memberi ketenteraman. Watak Turangga, menjadi tunggangan yang kuat untuk suatu tujuan yang pasti dan baik. Sifat tekad yang kuat yang dimaksudkan. Kemudian watak Wanita adalah lembut, penuh kasih sayang dan belas kasih. Kukila berwatak anggun. Suaranya enak didengar, enak di telinga dan di hati serta membangkitkan semangat hidup. Sementara Curiga menunjukkan ketajaman dalam berpikir, mengantisipasi masa depan dan tajam intuisinya.
Itulah mengapa Mangkurat Mangkunegara, yang bermakna harapan pemilik keris itu mampu mengemban tugas negara.
Oleh karena itulah bisa dilihat bahwa pada waktu situasi masyarakat dengan tata nilai kacau keris dapur ini diburu. Dengan kata lain keris luk lima menjadi tengara pemulihan kehidupan masyarakat yang kacau.
Dasar pemahaman luk lima bisa diinterpretasikan selaras zaman dan dalam agama apapun sesuai pemahaman masing-masing orang.
Lima juga bisa diartikan sebagai Pandawa dengan jiwa Puntadewa, Bima, Harjuna, Nakula-Sadewa perlu didalami untuk memenangkan pertarungan hidup di dunia. Simbolisasi kesucian, keberanian, kekesatriaan, kepasrahan, kebijaksanaan, harus diupayakan dalam keselarasan hidup jiwa badan-rohani jasmani.
Itulah sebabnya ketika di Majapahit terjadi kekacauan digambarkan sebagai musnahnya Keris Condong Campur yang nota bene luk lima. Saat itu tidak ada lagi keserasian, keselarasan tindak dan sikap di Majapahit yang membuat negeri itu kacau, akhirnya membawa ke keruntuhan.
Simpul yang bisa ditarik dari luk lima juga dikedepankan oleh Sultan Agung lewat Sastra Gending. Dari ‘Sastra Gending’ inilah …
Baca Artikel Lengkapnya didalam Majalah Adiluhung Edisi 01